Indonesia sebagai salah satu penghasil tembakau terbesar yang memiliki produksi tembakau terbesar di dunia dan menempati posisi ke 6 dengan jumlah produksi mencapai 136 ribu ton atau setara dengan 1,91% dari jumlah produksi tembakau dunia. Dengan kondisi ini untuk meningkatkan pendapatan Negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrwati melakukan penyesuaian ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari produsen dan importir rokok. Hal ini ditindak lanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No. 63/2022 ; yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan hasil tembakau dan telah berlaku sejak 1 April 2022 .Kebijakan ini mengatur pemungutan pajak untuk penyerahan hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektronik dan hasil pengolahan lainnya. PPN ini akan diberlakukan atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat dalam negeri oleh produsen dan juga hasil tembakau dari luar negeri oleh importir. Hal yang perlu diketahui bahwa PPN atas penyerahan hasil tembakau ini dipungut 1(satu) kali oleh produsen atau importir terutang sejak produsen atau importir ini melakukan pemesanan pita cukai hasil tembakau. Dengan diberlakukannya hal ini maka pengusaha penyalur tidak perlu memungut atau menyetorkan PPN kepada pengusaha penyalur lainnya atau kepada konsumen akhir.
Pengusaha penyalur pun wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (4) PMK 63/2022;
- Pengusaha juga menyerahkan BKP lainnya dan/atau JKP.
- Mempunyai jumlah penyerahan hasil tembakau dan penyerahan BKP lainnya dan/atau JKP yang melebihi batas pengusaha kecil.
Dengan status PKP ini, pengusaha penyalur juga wajib untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN terutang atas penyerahan BKP selain tembakau serta JKP dan juga pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib untuk melaporkan hasil tembakau melalui SPT Masa PPN, pada kolom penyerahan tidak terutang PPN.
Besaran PPN dihitung dengan cara mengalihkan tarif PPN tersebut dengan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Nilai lain yang menjadi DPP ditetapkan dengan rumus 100/(100 + tarif PPN) x Harga Jual Eceran hasil tembakau.
Untuk tarif PPN akan mengikuti aturan yang berlaku yaitu sebesar 11 % per 1 April 2022 dan 12 % pada tahun 2025 mendatang.
Berikut simulasi perhitungan :
PT Hampurna sebagai produsen hasil tembakau mengeluarkan Faktur Pajak pada tanggal 10 Mei 2020. Faktur Pajak tersebut merupakan transaksi pemesanan pita cukai atas produksi 1 juta bungkus rokok sigaret kretek mesin golongan II merek ABC. Satu bungkus rokok berisi 16 batang dengan Harga Jual Eceran Rp. 1.280 per batang. Dengan demikian, PPN terhutang dihitung dengan cara berikut :
HJE = 1.000.000 x 16 batang/bungkus x Rp 1.280.000
= Rp 20.480.000.000
Maka PPN Terutang = 9,9% x Rp 20.480.000.000
= 2.027.520.000
Dalam memutuskan kebijakan mengenai cukai rokok ini, pemerintah setidaknya memiliki empat pertimbangan yang terdiri atas :
- penerimaan negeri,
- aspek Kesehatan,
- tenaga kerja,
- keberlangsungan industri rokok serta pengendalian rokok ilegal.