Sistem pelaporan pajak penghasilan di Indonesia menggunakan sistem self assessment. Berdasarkan system tersebut, wajib pajak memiliki kewajiabn untuk melaporkan perpajakannya sesuai dengan data-data yang dimiliki dengan mengikut ketentuan pajak yang sudah ditetapkan. Dengan kondisi tersebut, maka perlu ada pihak yang melakukan pengecekan atas yang sudah dilaporkan. Setelah itu, apabila ada kondisi yang tidak sesuai, maka bagian yang melakukan pengecekan akan menginformasikan kepada wajib pajak dengan menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak. Hal ini menunjukan bahwa adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa surat tagihan pajak merupakan surat yang digunakan untuk menagih pajak danatau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Sebagai contoh, Wajib Pajak Orang Pribadi bernama Dinda telah mengajukan pembuatan NPWP pada tanggal 21 Januari 2018, tetapi sampai dengan tanggal 31 Maret 2020 Dinda hanya menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2019. Pada tahun 2019, Dirjen Pajak memperoleh data yang menunjukan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2018 memperoleh penghasilan diatas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Berdasarkan data tersebut, Dirjen Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2018. Pada kondisi tersebut, SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang diterima oleh dinda adalah SKPKB.
Namun, pada umumnya Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan/atau Surat Tagihan Pajak dibagi menjadi 4 jenis sesuai dengan peruntukannya.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dalam hal sebagai berikut: (1) ketika setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan kurang bayar; (2) Ketika Surat Pemberitahuan tidakApabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; (3) Ketika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); (3) Ketika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP (tentang pembukuan) atau Pasal 29 UU KUP (pada saat pemeriksaan) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau (4) Ketika pabila kepada WP diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT merupakan surat ketetapan menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. Surat ini berfungsi untuk mengoreksi atas jumlah pajak yang terutang berdasarkan dengan SPT, sebagai sarana adminitrasi yang dapat mengenakan sanksi bagi wajib pajak terkait, dan sebagai alat yang digunakan untuk menagih pajak.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU KUP, SKPLB diterbitkan untuk: (1) PPh, ketika jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; (2) PPN, ketika jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut; atau (3) PPnBM, ketika jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007, SKPN diterbitkan untuk: (1) PPh, ketika jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; (2) PPN, ketika jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; (3) PPnBM, ketika jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.