Dalam rangka meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak tertentu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan kebijakan yang membebaskan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk beberapa kategori wajib pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses pelaporan dan memastikan bahwa fokus administrasi pajak diarahkan pada wajib pajak aktif yang memberikan kontribusi signifikan.
Kategori pertama yang dibebaskan dari kewajiban pelaporan SPT adalah wajib pajak pribadi yang tidak lagi menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib pajak ini dianggap tidak memiliki kewajiban perpajakan yang aktif karena sudah tidak berpenghasilan dari kegiatan usaha atau profesi tertentu. Hal ini berlaku pula bagi wajib pajak pribadi yang penghasilannya berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga secara objektif tidak memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan. Dalam hal ini, meskipun mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kewajiban pelaporan SPT dianggap tidak relevan.
Selain itu, kebijakan ini juga mencakup wajib pajak pribadi yang memiliki NPWP tetapi tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, dengan penghasilan di bawah PTKP. Banyak dari kategori ini yang hanya mendaftarkan NPWP untuk keperluan administratif, seperti melamar pekerjaan atau memenuhi persyaratan dokumen tertentu. Bagi mereka, meskipun NPWP tetap aktif, kewajiban pelaporan SPT dihapuskan karena tidak ada penghasilan yang menjadi objek pajak.
Kategori lainnya adalah wajib pajak yang tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Dalam kondisi ini, wajib pajak yang telah menjadi subjek pajak di negara lain sesuai dengan aturan internasional dianggap tidak memiliki kewajiban perpajakan di Indonesia. Hal ini penting untuk menghindari pengenaan pajak ganda yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perpajakan internasional. Bukti status sebagai subjek pajak luar negeri diperlukan untuk memenuhi syarat pembebasan ini.
Wajib pajak yang sedang mengajukan penghapusan NPWP dan belum menerima keputusan juga termasuk dalam kategori ini. Selama proses penghapusan berlangsung, mereka tidak diwajibkan melaporkan SPT, karena pada dasarnya status perpajakan mereka sedang dalam proses evaluasi dan pengakhiran. Hal yang sama berlaku bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau tidak memiliki transaksi perpajakan selama dua tahun berturut-turut, baik melalui pembayaran sendiri maupun melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain. Dalam kondisi ini, wajib pajak tersebut dianggap tidak aktif, sehingga pelaporan SPT ditiadakan.
Wajib pajak yang tidak memenuhi kriteria pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) juga dibebaskan dari kewajiban pelaporan. Ketentuan ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya individu atau entitas yang benar-benar aktif secara ekonomi dan memenuhi kriteria subjektif atau objektif perpajakan yang diwajibkan melaporkan SPT. Untuk wajib pajak yang alamatnya tidak diketahui berdasarkan hasil penelitian lapangan, kewajiban pelaporan SPT juga ditiadakan, mengingat administrasi untuk individu atau entitas yang tidak dapat dilacak ini tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Kategori terakhir mencakup wajib pajak yang diterbitkan NPWP Cabang secara jabatan untuk memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan pembangunan sendiri oleh instansi pemerintah, tetapi tidak memenuhi syarat sebagai pemotong atau pemungut pajak. Dalam kasus ini, jika penghapusan NPWP belum dilakukan, kewajiban pelaporan SPT dianggap tidak relevan. Selain itu, wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif atau objektif perpajakan tetapi belum menghapus NPWP juga dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT.
Kebijakan ini memberikan landasan hukum dan kejelasan bagi wajib pajak yang masuk dalam kategori tersebut, serta mendukung upaya pemerintah dalam menyederhanakan administrasi perpajakan tanpa mengurangi efektivitas pengumpulan pajak dari wajib pajak aktif yang relevan.